Jumat, 01 Juni 2012

bahasa Indonesia

Sebagaimana Anda ketahui, bahasa Indonesia yang sekarang ini berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan yang ditempuh oleh bahasa Indonesia tak terpisahkan dengan perjalanan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk merdeka. Sejalan dengan hal tersebut, sejarah perkembangan bahasa Indonesia dapat ditinjau dari masa sebelum Indonesia merdeka dan masa sesudah merdeka.
Peristiwa bersejarah yang monumental bagi bangsa dan bahasa Indonesia adalah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Ikrar Sumpah Pemuda itu terdiri atas tiga butir yang berbunyi sebagai berikut
Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia
Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Ketiga Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Tampak pada teks di atas bahwa ikrar pertama dan kedua berbeda dengan ikrar yang ketiga. Ikrar pertama dan kedua berupa pernyataan pengakuan terhadap tumpah darah yang satu dan bangsa yang satu; sedangkan ikrar yang ketiga tidak berupa pengakuan, tetapi berupa kebulatan tekad untuk men¬junjung bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda tidak berbunyi:
Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.
Dengan demikian, ungkapan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yang sering diucapkan orang tidak sesuai dengan aslinya. Memang, kita mengaku satu nusa dan satu bangsa, tetapi tidak mengaku hanya satu bahasa. Banyak orang salah sangka terhadap ikrar ketiga Sumpah Pemuda. Bangsa Indonesia tidak berkeinginan hanya memiliki satu bahasa dipertegas oleh penjelasan Pasal 36, UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipelihara dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Bali dan sebagainya), dihormati dan dipelihara juga oleh negara
Dalam pada itu, nama “bahasa Indonesia” baru dikenal sejak 28 Oktober 1928, yang sebelumnya bernama “bahasa Melayu.” Bahasa Melayulah yang mendasari bahasa Indonesia yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahli sosiologi bahasa adalah kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.
Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
1. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.
2. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan yang
melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur
aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun
bahasa daerah lainnya.
3. Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
4. Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.
Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah
Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan mereka membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional. Hal seperti ini tidak terjadi di negara tetangga kita, misalnya Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Filipina (Tagalog) yang diangkat menjadi bahasa nasional mendapat saingan keras dari bahasa Sebuano dan Hokano yang tidak rela bahasa Tagalog menang. Malaysia mencontoh Indonesia dalam kebijakan bahasa mereka dengan menetapkan bahasa Malaysia sebagai bahasa persatuan, yang sekarang sudah menjadi bahasa resmi. Singapura menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan dan menduduki bahasa kedua setelah bahasa Inggris.
Dalam pada itu, ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang perlu kita perhatikan. Muh. Yamin, penyusun ikrar Sumpah Pemuda, pada Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926, menyatakan keyakinannya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Kebu-dayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Selanjutnya dengan tegas dia menyatakan bahwa bahasa yang dahulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikubur dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Tiga bulan menjelang diadakan Sumpah Pemuda, tepatnya pada 15 Agustus 1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia akan terwujud.
Ada pendapat lain, sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas apa yang disebut bahasa Indonesia. Dia menyatakan, “bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”.
Dalam pernyataan itu dengan sengaja dicantumkan kata dengan zwa/untuk membedakan pengertian antara bahasa yang dahulu disebut bahasa Melayu dengan bahasa yang sekarang disebut bahasa Indonesia. Selanjutnya, St. Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa bahasa Indonesia itu terusan, sambungan dari bahasa Melayu, tetapi ada bedanya dengan fase yang dahulu. Bahasa Indonesia itu dengan insaf diangkat dan dijunjung serta dipakai sebagai bahasa yang memperhubungkan dan mempersatukan rakyat Indonesia.
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai bahasa. Penamaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan dalam struktur dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar politik. Dalam bahasa tidak terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti nama sebagai pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air, bangsa dan bahasa.
Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan.
Demikianlah “lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang.
Pada tahun 1942 Jeparig menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba, Jepang tidak dapat memakai bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan.
Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia.
Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Yang dimaksud dengan kedudukan adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang bersangkutan. Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang diberikan kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebangsaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang latar belakang sosial budaya dan bahasanya berbeda, dan (4) alatperhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Sebagai lambang kebangsaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebangsaan itu, bahasa Indonesia selalu kita pelihara dan kita kembangkan. Begitu pula rasa bangga memakai bahasa Indonesia wajib kita bina terus. Rasa bangga merupakan wujud sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif itu terungkap jika kita lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada kata bahasa asing. Orang dikatakan bersikap positif jika lebih suka memakai kata HOTEL INDAH, PENATU RAMA, dan PENJAHIT CITRA daripada kata SPLENDED HOTEL, RAMA LAUNDRY, dan CITRA TAILOR. Kecenderungan memakai kata-kata asing seperti di atas mungkin terdorong oleh ingin bergagah-gagahan
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat menimbulkan wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini dapat terjadi jika kita selalu berusaha membina dan mengembangkannya secara baik sehingga tidak tercampuri oleh unsur-unsur bahasa asing (terutama bahasa Inggris)) yang tidak benar-benar kita perlukan; Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa Indonesia harus ditingkatkan. Bering kita jumpai pemakaian bahasa Indonesia -;. yang bercampur dengan bahasa Inggris seperti tampak pada contoh berikut ini.
Lembaga Pendidikan £ Training Computer ‘ Melayani: Pengetikan, Programming, Analisis Data
Pemakaian bahasa gado-gado seperti contoh di atas dapat menurunkan wibawa pemakainya. Agar dapat dijadikan teladan dan dihormati orang lain, bahasa gado-gado di atas harus bersih dari kata-kata asing, seperti dituliskan ‘: berikut ini.
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Komputer Melayani: Pengetikan, Pemrograrnah, dan Analisis Data
Sebagai alat perftersatu, bahasa Indonesia’memang mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang berbeda-beda suku, agarna, budaya, dan bahasa ibunya. Hal itu tampak jelas sejak diikrarkan Sumpah Pemiida.
Pada zaman penjajahan Jepang yang penuh dengan kekerasan dan penindasan bahasa Indonesia digembleng menjadi alat pemersatu yang ampuh bagi bangsa Indonesia. Dengan bahasa nasional itu kita letakkan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah atau golongan.
Sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia mampu memperhubungkan bangsa Indonesia yang latar belakang sosial budaya dan bahasa ibunya berbeda-beda. Berkat bahasa nasional, suku-suku bangsa yang berbeda-beda bahasa ibunya itu dapat berkomunikasi secara akrab dan lancar sehingga kesa-lahpahaman antarmereka tidak terjadi. Selanjutnya, dengan menggunakan bahasa Indonesia kita dapat menjelajah ke seluruh pelosok tanah air kita ini tanpa ada hambatan.
Selanjutnya, sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, (3) alat perhubungan pada tingkat nasional, dan (4) alat pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik secara lisan maupun tertulis. Dokumen-dokumen resmi, keputusan-keputusan, surat-menyurat, yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya seperti DPR dan MPR wajib ditulis dalam bahasa Indonesia. Juga pidato-pidato resmi kenegaraan wajib ditulis dan diucapkan dalam bahasa Indonesia. Hanya dalam keadaan tertentu, demi kepentingan komunikasi antarbangsa, kadang-kadang pidato itu ditulis dan diucapkan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Sejalan dengan itu, pemakaian bahasa dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan, termasuk media massa perlu dibina, dikembangkan, dan ditingkatkan.
Sebagai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar pada semua jenis dan jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dalam hubungan ini, bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali dan Makassar berfungsi sebagai bahasa pengantar di SD sampai dengan tahun ketiga; sedangkan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris dipakai sebagai alat untuk membantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern.
Sebagai alat perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, dan juga sebagai alat perhubungan dalam masyarakat yang latar sosial budaya dan bahasanya sama. Jadi, jika pokok masalah yang diperkatakan itu berkaitan dengan masalah yang menyangkut tingkat nasional (bukan tingkat daerah), ada kecenderungan orang untuk memakai bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Dewasa ini terdapat kecenderungan memakai bahasa Indonesia meskipun yang dibicarakan itu masalah yang bertingkat daerah.
Sebagai alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang digunakan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional yang memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Di samping itu, bahasa Indonesia juga dipakai untuk memperluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi modern kepada masyarakat baik melalui penulisan buku-buku teks, penerjemahan, penyajian pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan umum maupun melalui sarana-sarana lain di luar lembaga pendidikan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terpenting di kawasan republik kita ini. Penting tidaknya suatu bahasa dapat didasari oleh tiga patokan, yaitu (1) jumlah penuturnya, (2) luas penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya lain yang bernilai tinggi. Jumlah penutur bahasa Indonesia menurut sensus penduduk tahun 1990 adalah 82,87%. Hendaknya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia makin bertambah. Patokan kedua jelas sekali bahwa bahasa Indonesia memiliki penyebaran yang paling luas. Hal ini tentu mengingatkan Anda tentang luasnya penyebaran bahasa Melayu yang menjadi dasar bahasa Indonesia, Di samping susastra Indonesia modern yang dikembangkan oleh sastrawan yang beraneka ragam latar belakang bahasanya, dewasa ini bahasa Indonesia berperan sebagai sarana utama di bidang ilmu, teknologi, dan peradaban modern bagi bangsa Indonesia.
Perlu dicatat bahwa kedudukan bahasa yang demikian penting seperti bahasa Melayu dijunjung menjadi bahasa persatuan, kemudian bahasa Indonesia ditetapkan menjadi bahasa negara, dan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional tidak didasarkan pada pertimbangan linguistik, logika, atau estetika, tetapi oleh patokan politik, ekonomi, atau demografi.
Perlu Anda ketahui bahwa satu negara memiliki lebih dari satu bahasa resmi, misalnya Singapura memiliki empat bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris, Cina Mandarin, Tamil, dan Melayu; Malaysia memiliki dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan Malaysia; Filipina mempunyai dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan Filipino; Swiss memiliki tiga bahasa resmi (tidak memiliki bahasa nasional), yaitu bahasa Perancis, Jerman, dan Itali.
Dalam pada itu, sejarah perkembangan bahasa Indonesia berjalan terus. Dalam perjalanan sejarah dari tahun 1945 sampai sekarang ini banyak peristiwa penting yang berkaitan dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, antara lain, Kongres Bahasa Indonesia II s.d. VI. Marilah kita kaji ulang peristiwa-peristiwa penting yang dimaksud.
Pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Dalam Kongres itu ditegaskan bahwa politik bahasa harus mengatur kedudukan dan hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Selain itu, politik bahasa harus membangkitkan rasa setia dan bangga akan bahasa Indonesia. Pernyataan kedua ini menyiratkan bahwa rasa setia dan bangga akan bahasa nasional belum tampak dalam perilaku berbahasa Indonesia. Mungkin sekali masih banyak orang Indonesia yang suka berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1975 di Jakarta diadakan Seminar Politik Bahasa Nasional. Politik bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengolahan keseluruhan kebahasaan. Dalam seminar itu diputuskan ihwal kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, misalnya bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa-bahasa daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional, yang dilindungi oleh negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Bab XV, UUD 1945 (sebelum amandemen), yang berbunyi:
Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Bugis berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Adapun dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di SD di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya, dan (c) alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah.
Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Jepang, dan Cina berkedudukan sebagai bahasa asing. Kedudukan ini didasarkan atas kenyataan bahwa bahasa asing tertentu itu diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan pada tingkat tertentu. Di dalam kedudukan yang demikian, bahasa-bahasa asing itu tidak bersaingan, baik dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Jepang dan Cina berfungsi sebagai alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.
Selanjutnya, pada tahun 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-50. Kongres itu bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia baik sebagai bahasa nasional sesuai dengan isi dan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maupun sebagai bahasa negara, sesuai dengan Bab XV, Pasal 36, UUD 1945 (sebelum amandemen) Keputusan dan kesimpulan kongres itu menyangkut kepentingan segenap lapisan masyarakat. Masalah bahasa adalah masalah nasional..
Sementara itu, pada tahun (1983) di Jakarta diadakan Kongres Bahasa Indonesia IV. Dalam kesimpulan umum dikatakan bahwa fungsi bahasa Indonesia makin mantap, baik sebagai alat komunikasi sosial administratif maupun sebagai alat komunikasi ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dan, sebagai alat penyebarluasan ilmu, bahasa Indonesia telah dapat pula menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini terbukti dengan makin banyaknya buku-buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia V diadakan pada tahun 1988 di Jakarta. Kongres itu menghasilkan sejumlah putusan yang meliputi bidang bahasa, pengajaran bahasa, dan pengajaran sastra. Dalam simpulan umum dinyatakan bahwa kedudukan bahasa Indonesia makin mantap, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Meskipun demikian, pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar masih perlu ditingkatkan. Sebagai tindak lanjutnya, perlu diperhatikan dan dilaksanakan hal-hal berikut ini.
Para pejabat diimbau berbahasa Indonesia ‘ Secara baik dan benar karena mereka menjadi anutan masyarakat. Para peneliti hendaklah membiasakan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah secara logis, lugas, cermat, dan tepat.
Dalam menyampaikan pesan tentang konsep-konsep pembangunan kepada masyarakat hendaknya digunakan bahasa yang akrab dan sederhana sesuai dengan daya tangkap masyarakat. Penggunaan bahasa asing pada papan-papan nama gedung umum,
hendaknya diganti dengan bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah dan modern masih perlu menyerap kata-kata baru, baik yang berasal dari bahasa serumpun maupun dari bahasa asing, sesuai dengan keperluan. Oleh sebab itu, penutur bahasa Indonesia diimbau tidak bersikap nasionalisme sempit yang
berlebihan. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, yang meliputi kebanggaan dan kesetiaan pada bahasa Indonesia serta kesadaran akan kaidah bahasa perludipupuk terus
Bahasa Indonesia VI diadakan pada tahun 1998 di Jakarta. Kongres dengan tema “Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000″ itu bertujuan memantapkan peran bahasa Indonesia sebagai sarana pembangunan bangsa, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana pembinaan kehidupan bangsa. Adapun subtemanya adalah (1) Bahasa Indonesia Merupakan Sarana yang Kukuh dalam Pembangunan Bangsa, (2) Peningkatan Mutu Bahasa Indonesia Memperlancar Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan (3) Peningkatan Kemampuan Masyarakat Berbahasa Indonesia Memperkaya Kehidupan Budaya Bangsa.
Sebagaimana Anda ketahui, jaringan masalah kebahasaan di Indonesia memang sangat kompleks. Hal itu disebabkan oleh adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, juga adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, ditambah pula datangnya berbagai tuntutan agar hanya didasarkan pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor nonkebahasaan seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan.